Tulisan ini dimulai dengan satu pertanyaan yang sederhana dan sangat klasik. Kita ini bangsa apa, Pertanyaan ini pada prinsipnya muncul karena berbagai situasi, realitas dan fakta-fakta sosial yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa pertanyaan ini kemudian muncul akibat karena berbagai pernyataan dari elit bangsa dan pemimpin negara yang ber-kecendrungan melukai perasaan publik (rakyatnya).
Kampanye politik dan propaganda “janji-janji politik” telah dimenangkan, mimbar, umbul-umbul, gegap gempita (yang mulai hening), kaos-kaos, baliho, spanduk, bansos—semuanya pernah menjadi pelaku dalam politik sekaligus menjadi saksinya. namun kesaksian itu kemudian menjelma menjadi “amarah” dan kritik, karena elit dan pemimpin mulai berpura-pura jujur dalam bahasa, walau gesturnya mulai diragukan. Janji politik mulai ditagih di tengah kondisi sosio-ekonomi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Angka PHK yang menembus 42.543 orang dalam kurun waktu satu semester ini. Angka pengangguran yang sangat tinggi, lapangan kerja yang minim, dan meningkatnya perilaku dan angka korupsi—dan ironisnya lemahnya penegakan hukum. Deretan problem ini menjadi sebab distrust (ketidakpercayaan) investor dan negara lain terhadap Indonesia. Ketidakpastian hukum menyebabkan sikap apriori bagi investor dan negara-negara lain untuk menanamkan modalnya.
Janji politik 19 juta lapangan kerja yang hingga saat belum tertunaikan, sementara angka pengangguran (bonus demografi) justru semakin meningkat. Kasus korupsi; Pertamina yang menembus 1 kuadriliun, Kasus Timah 300 Trilyun, dan beberapa kasus lainnya dalam lingkaran korupsi yang merugikan negara. Sehingga dituntut penegakan hukum yang lebih profesional dan adil, tidak tebang pilih. Namun yang terjadi adalah penegakan hukum yang belum dapat memberikan angin segar bagi kultur hukum, masih terkesan tebang pilih dan cendrung politis.
Kasus Tom Lembong (4,5 tahun), dan Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) 3,5 tahun, yang hingga saat ini masih memunculkan berbagai friksi dari publik, akademisi, pakar hukum, pakar politik, akademisi, aktivis, terkait vonis yang dijatuhkan kepada keduanya. Dalam persidangan hingga tuntutan oleh hakim itu dilakukan keduanya tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan mereka bersalah. Prinsip hukum pidana “Incrminalibus Probantiones Luce Esse Clariores”—(bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya), terkesan terabaikan, justru yang muncul adalah “apologi hukum” lalu menafikkan “logika hukum”, sehingga berbagai dalil-dalil hukum terbantahkan oleh dalih “yang penting tersangka, yang penting bersalah, yang penting dipenjara.” Dari sini kita bisa merasakan dan menyaksikan, kalau sekelas Tom lembong dan Hasto Kristiyanto yang kedunaya memiliki pengaruh politik yang kuat dapat dijerat hukum tanpa bukti-bukti yang kuat, maka bagaimana dengan masyarakat (bukan siapa-siapa), tidak memiliki kekuatan politik—bisa saja ditangkap, dihukum, dipenjara tanpa bukti-bukti. Hukum itu harus bekerja hitam-putih (salah benar) tetapi dengan prasyarat dengan bukti-bukti yang kuat terhadapnya. Namun ketika penegakan hukum hanya memakai “alibi dan apologi”—maka itu sangat politis.
Sejarah hukum adalah sejarah tentang kemanusiaan, sejarah tentang perdamaian, sejarah tentang kebenaran dan keadilan—bila sejarah hukum tidak lahir dari frame ini, maka dunia akan secara terus menerus dikendalikan oleh prinsip anhumanity-Homo Homini Lupus (manusia akan menjadi pemangsa bagi manusia lainnya)—hukum rimba pun akan tegak, yang kuat akan semakin kuat, dan yang lemah akan terus mengalami penindasan. Dan kebenaran hanya dimiliki oleh mereka yang berkuasa. Dan kalau hal ini menjadi piranti dalam ber-kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini ancaman serius bagi kemanusiaan dan marwah hukum terancam.
Tujuan hukum secara filosofis adalah sebagai pagar bagi manusia—agar tercipta rasa aman, rasa adil di tengah kehidupan sosial, politik, ekonomi, lingkungan. Tetapi bila hukum dikendalikan secara politik (kekuasaan)—maka hukum akan ditegakkan bukan karena kebenaran dan keadilan, tetapi ditegakkan karena target “menghukum”, tentu ini tidak sehat dalam kultur hukum terutama dalam penegakan hukum.
Terlepas dari kausu hukum akhir-akhir ini yang masih tebang pilih (beberapa elit politik yang disebut namanya dalam fakta-fakta persidangan, nyaris tidak tersentuh hukum)—dari sini publik menilai kalau penegak hukum bekerja atas pesanan (by order), dan kecendrungan penguasa melindungi kolega politiknya yang terindikasi tersangkut masalah hukum. Lagi-lagi politik sandera menjadi alasan terkuat, bagaimana hukum masih tebang pilih (tajam ke lawan, tumpul ke kawan). Akhirnya “Tuhan pun” tergadaikan di dalam kultur dan perilaku penegakan hukum di negara yang notabene negara hukum (rechstaat). Jubah kemuliaan berlumur darah ketidak-adilan, dan nurani pun terkubur dalam semsta yang paling dalam, dan manusia pun berada dalam ancaman yang serius.
Ancaman kedaulatan
Pada tahun 1945, dua kota di Jepang; Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh sekutu—dua kota ini luluh lantah, hancur lebur. Tetapi fenomena kehancuran dua kota tersebut tidak menjadikan bangsa matahari terbit ini, lalu terpuruk dan tidak bisa bangkit lagi, justru dengan kondisi demikian bangsa Jepang bangkit dengan jati diri, identitas, integritas nya sebagai bangsa Jepang. Jepang bangkit dengan identitasnya, sebagai negara berdaulat, Jepang terus bangkit menjadi negara maju di dunia hingga saat ini tanpa harus menyerahkan hak-hak kedaulatan warga negaranya kepada bangsa lain—termasuk koloninya.
Dan di tahun yang sama 1945 Indonesia memproklamirkan menjadi bangsa dan negara merdeka di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta. Kemerdekaan sebagai tanda mengakhiri penjajahan, penindasan, kolonialisme, dan penemuan eksisitensi bangsa Indonesia. Dari sejarah bangsa ini, dari Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga saat ini—justru saat-saat ini fatsoen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami patahan yang cukup memprihatinkan. Fatsoen itu adalah berbentuk budaya korupsi, dan yang lebih parah lagi adalah data-data pribadi warga negara diserahkan kepada bangsa lain dalam hal ini Amerika Serikat sebagai parsyarat kesepakatan dagang antara Indonesia-Amerika Serikat.
Konsensus politik ekonomi Indonesia-Amerika Serikat dengan cara bertukar data pribadi warga negara adalah konsensus yang melanggar kode etik tata bernegara—yang seharusnya negara bertugas menjaga hak-hak pribadi warga negaranya, bukan lalu dijadikan parasyarat dagang antarnegara. dan ini sudah menyalahi hukum Hak Asasi Manusia yakni menyangkut data pribadi setiap orang (warga negara) yang harus dilindungi oleh negara. Dan hal ini sudah menjadi kejahatan politik dan kejahatan kemanusiaan negara (The political Crime and Humanity) terhadap warga negaranya.
Sehingga dari sini kita kembali bertanya, KITA INI BANGSA APA
Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, peneliti, Penulis buku, Penggiat Demokrasi dan sosial politik, Founder Indonesian Corner