
Makassar, PB – Peneliti Senior Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Patria Artha (PUKAT UPA), Bastian Lubis, menyatakan keprihatinannya terhadap upaya pemberantasan korupsi di era reformasi yang dinilai semakin tidak jelas dan bahkan cenderung dipelihara.
“Setiap hari kita dibanjiri berita kasus korupsi di media sosial,” ujar Bastian dalam keterangannya secara daring baru-baru ini.
Ironisnya, menurut Bastian, lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lapas tampak sibuk berkinerja baik, namun nyatanya hasil yang dicapai terkesan biasa-biasa saja. Sebagai contoh, kasus korupsi PT Timah dengan nilai fantastis Rp300 Triliun hanya menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 Miliar kepada pelakunya, Harvey Moeis.
“Padahal, anggaran negara yang dihabiskan untuk proses hukum kasus ini diduga telah mencapai lebih dari Rp3 Miliar dari APBN. Ini sangat ironis,” tegas Bastian.
PUKAT UPA sepakat dengan pernyataan Presiden Prabowo yang menyatakan tidak akan memaafkan para koruptor, meskipun mereka telah mengembalikan hasil korupsinya secara diam-diam. Hal ini dikhawatirkan akan memicu transaksional tawar-menawar dan semakin suburnya korupsi.
“Saat ini, pelaku korupsi yang tertangkap hanya perlu mengembalikan uang hasil korupsi dan dibebaskan. Ini yang harus dihindari,” tegas Bastian. Jika hal ini terus terjadi, negara berpotensi bangkrut karena APBN, APBD, dan BUMD akan habis terkuras untuk urusan korupsi dan tidak fokus untuk masa depan.
Berdasarkan analisa PUKAT UPA, terdapat 5 faktor utama yang menyebabkan korupsi di Indonesia kian subur:
1. Pejabat yang Tidak Paham Tupoksi: Banyak pejabat yang terlibat dalam pengelolaan keuangan tidak memahami tupoksinya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan Bendahara sesuai UU 17/2003 dan UU 1 tahun 2004. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan prinsip independensi dan akuntabilitas terhadap uang negara.
2. Fungsi Instansi Pengawasan Tidak Optimal: Fungsi instansi pengawasan internal dan eksternal tidak berjalan optimal. Inspektorat, Irjen/SPI, dan BPKP yang seharusnya memberikan bimbingan untuk mencegah penyimpangan dan korupsi justru sibuk dengan urusan sendiri. Tidak ada koordinasi yang jelas antara instansi pengawasan, sehingga pengawasan berjalan sendiri-sendiri.
3. Ketiadaan Kejelasan Tupoksi BPKP: BPKP yang seharusnya berperan sebagai koordinator pengawasan internal pemerintah, tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Hal ini menyebabkan tidak ada kesatuan prinsip dalam memperbaiki dan mencegah korupsi di instansi pemerintah. ( Red)