Aceh, PB – Pemerintah pusat diduga mengabaikan kewenangan pengelolaan migas Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 90 PP Nomor 23 Tahun 2015. Blok-blok migas strategis seperti Kuala Simpang Barat, Kuala Simpang Timur, dan Rantau Perlak masih dikelola Pertamina EP melalui SKK Migas, bukan BPMA, sehingga transparansi pendapatan dan hak Aceh atas sumber daya alamnya menjadi kabur.
Produksi migas di Aceh Tamiang saja mencapai 2.500 BOPD, berpotensi menghasilkan pendapatan bersih hingga Rp4,78 triliun dalam 10 tahun terakhir. Namun, potensi ini tidak sepenuhnya dinikmati Aceh karena pengelolaan melalui struktur lama.
Berbagai upaya hukum dan politik telah dilakukan sejak 2021, termasuk gugatan hukum dan kesepakatan bersama yang tak dijalankan. Meskipun Menteri ESDM mengeluarkan surat pengalihan sebagian wilayah kerja pada 2023, surat tersebut sarat syarat yang merugikan Aceh, dan hingga pertengahan 2025 belum ada Keputusan Menteri untuk melanjutkan proses kontrak.
Sikap pemerintah pusat dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi, perundang-undangan, dan semangat lex specialis dalam UUPA. Penundaan ini dinilai sebagai pembegalan sistematis terhadap hak migas Aceh.
Oleh karena itu, terdapat seruan kritis kepada Presiden RI untuk turun tangan, Menteri ESDM untuk menerbitkan Keputusan Menteri, dan DPR RI serta DPRA untuk melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan PP 23/2015 dan memastikan akuntabilitas pengelolaan SDA Aceh sesuai UUPA. Penundaan pelaksanaan hak istimewa Aceh dinilai sebagai ketidakadilan dan penyimpangan terhadap semangat perdamaian dan keadilan ekonomi.( A)