TIDAK MUDAH MENJADI INDONESIA

Opini, PB – Satu memoar sejarah yang sangat memilukan—ketika bangsa ini dijajah kurang lebih 350 tahun lamanya. Tentu tidak mudah menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan merdeka. Penjajahan adalah merupakan kejahatan politik suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Dalam rantang sejarah itu, efek psikologis pada akhirnya membangun trauma yang berkepanjangan. Sumber daya alam (rempah-rempah), diangkut ke negara jajahan, sementara sumber daya manusia ditindas dan menjadi buruh, pekerja rodi di tanah sendiri.

Seorang filsuf dan kritikus pendidikan berkebangsaan Brasil dalam satu bukunya yang berjudul “Pendidikan Kaum tertindas”—di bagian lain ia menyebutkan bahwa kenapa Colombus menemukan daratan Amerika; padahal jauh sebelumnya Colombus berlayar menuju kawasan Laut Amerika, daratan Amerika telah dihuni oleh bangsa Afroamerika yang telah bercocok tanam, beternak serta melaut. Alasan Freire mengkritik Colombus bahwa penemuan Daratan Amerika, hanya semata untuk menegasikan “Eropasentris” terhadap bangsa-bangsa lain. Lebih lanjut Freire menyebutkannya; bahwa ini awal kemunculan dari “Kolonialisme”

Maka dengan dasar itu pula, sehingga bangsa-bangsa Eropa pada abad ke 16 sampai 17 melancarkan teori dagang ke seluruh daratan bangsa-bangsa lain termasuk di Asia dengan motif ekonomi tetapi terselubung The Political Colonialism. Invasi bermula dari jalur rempah—Asia hingga ke Indonesia, terutama Maluku dalam hal ini. Praktek ekonomi monopoli dipraktekkan di kalangan rakyat Indonesia. Perkebunan, pertanian menjadi tujuan utama Eropa untuk mengambil keuntungan secara monopoli.

Kondisi demikian pada akhirnya membentuk “Parochial Culture” atau budaya manut, nurut, karena kekuatan ekonomi (finansial) yang dimiliki penjajah, sehingga secara tidak sadar, masyarakat lokal mau atau tidak mau karena demi uang dan kebutuhan ekonomi, akhirnya tunduk di kaki penjajah. Situasi ini tidak hanya pada kekuatan ekonomi, tetapi lama kelamaan kolonialisme penjajah juga mengerahkan militer bersenjata. dari sinilah kemudian penindasan, perampasan hak-hak masyarakat lokal terhadap perkebunan dan pertanian dan sektor lainnya.

Sang Ideologis

Isi Pidato Proklamasi oleh Soekarno
Saudara-saudara sekalian!

Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan beratus-ratus tahun!

Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita untuk ada naiknya dan turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju cita-cita. Juga di zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kita kepada mereka. Tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan sendiri.

Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal mengenai pemeindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggaraan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945.
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Demikianlah saudara-saudara!
Kita sekarang telah merdeka!
Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita.
Mulai saat ini kita menyusun negara kita!
Negara merdeka, negara republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi.
Insyaa Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

Menyimak dari piadto Soekarno (Presiden Pertama RI), memberi kesan bahwa tak cukup dengan semangat patriotisme untuk menuju cita-cita kemerdekaan, tetapi juga butuh keberanian yang maksimal untuk mengirimkan pesan kepada dunia luar tentang kemerdekaan Indonesia sebagai cita-cita yang abadi. Bahwa penjajahan harus dihapus dari muka bumi ini—juga termaktub dalam pembukaan UUD 45 sebagai sumber dasar ideologi bernegara. Bahwa ideologi negara tidak selalu dimaknai sebagai arti filosofis saja tetapi ia merupakan kerangka dasar, paradigma, prinsip serta sikap suatu bangsa untuk meneguhkan eksistensinya sebagai suatu bangsa yang beradulat.

Dan memang tidak mudah menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan merdeka—tak sebatas merdeka hanya mengusir penjajah dengan berbagai bentuk perlawanan dan pemberontakan, tetapi lebih penting dari itu kemerdekaan adalah principles and ideals yakni suatu sikap untuk memerdekakan diri dari berbagai hal; baik fiisik maupun pikiran. Bahwa kemudian konsep ideologi yang digelorakan Soekarno-Hatta menjadi goals bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.

Kini, Indonesia
Mengutip kembali pidato Soekarno “Mengusir penjajah dari bumi pertiwi tentulah begitu mudah, tetapi kelak, kalian akan terjajah oleh bangsamu sendiri”—(kira-kira demikian makna pidato Soekarno). Meminjam pandangan Joseph Schumpeter (1883-1960) seorang ekonom Amerika-Austria dan paling berepngaruh di era abad 20, dan sempat menjabat sebagai menteri keuangan Austria tahun 1919—dan mempopulerkan istilah “Destruksi Kreatif”—namun Schumpeter pun pernah menulis satu karya monumental “Capitalism, Sosialisme and Democracy”, di bagian lain pada pemikirannnya tentang kapitalisme, bahwa siklus dalam negara demokrasi kapitalisme politik akan terus berputar (sirkulasi) pada kelompok tertentu, yang itu-itu saja (mereka pemilik modal)—yang akan membuntungi sistem sosial, ekonomi, hukum dan politik. Menurutnya peran kapitalisme dalam politik juga sangat berpengaruh menggerus prinsip-prinsip demokrasi.

Ekonomi monopolistik, penguasaan pasar, kendali hukum dan sistem politik—adalah instrumen yang akan mempengaruhi publik bahwa betapa kuatnya sistem kapitalisme. Sehingga berujung pada disparitas sosial dan ekonomi begitu tajam dan menganga dengan lebarnya. Ketimpangan terjadi karena peguasaan sumber-sumber daya alam, intervensi dunia perbankan, dan mereka juga mampu mengendalikan politisi dengan uang dan pasar.

Fenomena sebagaimana yang digambarkan Schumpeter—menjadi cerminan dunia sosial (Imago mundi), politik kapitalisme di demokrasi kontemporer nampak begitu jelas buktinya; politik transaksional, jual beli kasus, syarat pendidikan tidak lagi menjadi hal yang penting dalam proses politik, penegakan hukum yang timpang, munculnya political trial, hutang luar negeri yang semakin membengkak, korupsi serta kejahatan politik lainnya. Bagi Soekarno—ini adalah penjajahan di rumah sendiri. Sirkulasi kekuasaan semacam ini pada akhirnya begitu sulit untuk diputus, sebab “mereka saling sandera” sehingga penegakan hukum ditengarai banyak yang terselesaikan di bawah meja hijau yang gelap.

Sehingga menjadi Indonesia itu tidak mudah, demokrasi elektoral juga pada akhirnya bukan solusi terbaik untuk mewujudkan tatanan masyarakat egalitarian (persamaan) di dalam kehidupan warga negara. Karena kapitalis, menyebabkan tetap saja ada kelas-kelas dalam warga negara; kelas elit (borjuasi) dan kelas rakyat jelata. Padahal demokrasi adalah sistem yang memutus perbedaan-perbedaan sosial di antara struktur sosial masyarakat. Tetapi ketika jurang perbedaan itu masih menganga, maka kita (Indonesia) belum lah on the track menuju kemerdekaan yang sempurna sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa ini.

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis bUku, Kritikus sosial Politik dan penggiat Demokrasi