Opini, PB – Polemik kenaikan pajak daerah kembali mencuat di Sinjai, masyarakat mengeluhkan tagihan pajak yang melonjak. Anehnya, Bupati menegaskan tidak ada kenaikan pajak. Saat Menerima Aspirasi Masyarakat pada Senin, 1 September 2025, di Kantor DPRD Sinjai.
Pernyataan ini sontak menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin masyarakat sudah menerima surat tagihan dengan nilai lebih tinggi, bahkan sebagian sudah membayar, sementara pemerintah daerah tetap menyebut tidak ada kenaikan.
Apalagi terdapat Surat Edaran Bupati tertanggal 30 Juni 2025 yang secara jelas menetapkan bahwa besaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mulai tahun 2025 minimal ditetapkan sebesar Rp20 ribu.
Kemudian Fakta di lapangan tidak bisa dibantah. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang beredar jelas menunjukkan angka lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Artinya, ada penyesuaian yang membuat masyarakat harus membayar lebih mahal. Dalam praktiknya, kenaikan ini sering terjadi akibat perubahan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau penerapan kebijakan teknis lewat Peraturan Krepala Daerah.
Nahh.. dimana letak persoalannya: komunikasi publik yang lemah dan minimnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif. DPRD yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan tampak absen dalam menjelaskan kebijakan ini kepada rakyat.
Padahal, setiap kebijakan fiskal yang berdampak luas semestinya melibatkan DPRD, baik dalam pembahasan maupun dalam sosialisasi. Masyarakat akhirnya berada pada posisi yang serba sulit: terbebani, tidak mendapat penjelasan memadai, dan bahkan seolah-olah dipersalahkan karena “salah paham” soal kenaikan pajak.
Surat Edaran Mendagri Nomor 900.1.13.1/4528/SJ yang terbit 14 Agustus 2025 sesungguhnya lahir untuk mengingatkan pemerintah daerah agar tidak membebani rakyat kecil dengan kebijakan pajak. Edaran itu jelas meminta kepala daerah menunda atau bahkan mencabut penyesuaian tarif yang memberatkan. Namun, di tingkat lokal, implementasi surat edaran ini apakah bisa di terapkan di kabupaten Sinjai yang seolah tidak berjalan selaras dengan kenyataan yang dialami masyarakat.
Maka pertanyaannya sederhana: apakah DPRD tidak mengetahui adanya kebijakan penyesuaian yang menambah beban masyarakat, ataukah tidak ada koordinasi sama sekali dengan pemerintah daerah? Jika DPRD tahu, mengapa tidak bersuara? Jika tidak tahu, maka fungsi pengawasan mereka patut dipertanyakan.
Rakyat berhak atas kejelasan. Jangan sampai pernyataan pejabat publik hanya menjadi tameng politik sementara masyarakat sudah lebih dulu mengeluarkan uang lebih besar untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Pajak seharusnya menjadi instrumen pembangunan, bukan sumber kebingungan dan kekecewaan.
Penulis : Safir Jurnalis pedulibangsa. co