Opini : Dean G. Pruitt danJeffrey Z. Rubin memulai pikirannya dengan analisis yang sederhana; tidak mudah menjadi pengatur lalu lintas penerbangan, yang tidak begitu saja bisa masuk di dalam menara pengawas, melihat ke arah lapangan terbang, lalu mulai memerintahkan sebuah pesawat untuk tinggal landas (take off) atau mendarat (landing). Pekerjaan itu membutuhkan latihan ekstensif dan pengalaman. Sebagian besar pengatur lalu lintas penerbangan di Amerika Serikat menjadi anggota serikat buruh, Patco. Dalam waktu beberapa saat Patco menuntut kenaikan gaji dan imbalan sejak musin panas tahun 1981. Dan Patco (Serikat Buruh) begitu yakin tuntutan mereka akan dikabulkan oleh pemerintah. Tetapi faktanya presiden Reagan, bukannya menyetujui tuntutan Patco, justru dengan sangat mengejutkan memecat seluruh anggota serikat buruh yang ikut aksi demonstrasi dan aksi mogok.
Disisi lain ada suatu perusahaan, berpolemik antara pihak pengiriman produk dengan pihak produksi, hanya soal penetapan tanggal dan bulan pengiriman dan produksi yang keduanya memiliki argumen yang sama-sama masuk akal. Bila keduanya, terjebak pada kalah menang, tentu perusahaan tersebut akan collaps dan mengalami bencana keterpurukan. Demikian juga konflik Israel dengan Mesir yang mempertentangkan Semenanjung Sinai yang kemudian berunding di Camp David pada Oktober 1978. Kedua negara tersebut masing-masing punya alasan dan argumen yang kuat. Bagi Israel, yang telah menduduki Sinai sejak Perang Timur Tengah tahun 1967 menolak untuk mengembalikan wilayah itu satu inci pun. Usaha untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak dengan kompromi masing-masing negara berbagi separoh wilayah Sinai, tidak menemukan jalan. Kedua belah pihak menolak.
Namun pada saat perundingan berlangsung di Camp David, ditemukanlah bukti-bukti kepentingan tersembunyi di balik ppertentangan kedua negara itu. Kepentingan Israel, memastikan bahwa batas-batas wilayah negaranya aman dari serangan udara dan darat dari Mesir. Sementara dipihak Mesir, kepentingannya adalah kekkuasaan; adalah meraih kembali kekuasaan atas tanah yang pada zaman dahulu menjadi wilayah Mesir. Setelah perundingan berlangsung berhari-hari yang diprakarsai Amerika Serikat, maka dicapailah kesepakatan kedua belah pihak. Israel setuju untuk mengembalikan Semenanjung Sinai, dengan gantinya Mesir bersedia memberikan jaminan untuk menjadikan Sinai sebagai wilayah demiliterisasi dan mengizinkan Israel untuk mendirikan basis pertahanan udaranya di sana. Dan hasil perundingan itu berlangsung secara efektif sejak tahun 1982.
Dari tiga hal tersebut di atas, dengan analisis resolusi konflik yang ada akan memberi arah dan petunjuk—bagaimana mediator, negosiator serta pemimpin di dalam mengambil peran strategis untuk menyelesaikan konflik. Bukan hanya sebatas narasi yang semiotik; tetapi tindakan yang nyata. Yaitu mempertemukan dua arus utama; penuntut dan yang dituntut.
Spiral Kekerasan dalam bernegara
Sekilas pandangan Dom Helder Camara dalam bukunya “Spiral Kekerasan” bahwa kekerasan adalah sikap, dorongan bagi seseorang atau kelompok untuk melakukan satu tindakan bila ruang privat seseorang atau kelompok itu terganggu. Terganggu dengan; cemoohan, hinaan, perlakuan tidak adil, bahkan karena kesenjangan sosial, ekonomi dan politik. Bila kekerasan dipantik dengan kekerasan; maka akan berujung pada kemarahan, pengrusakan, penjarahan serta sikap brutalisme menjadi barbar, dan itu sulit dikendalikan.
Oleh Neera Chandoke dalam bukunya “The State and Civil Society” Exploration in Political Theory, 1985, memandang; bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial, dan dominasi kekuasaan politik berkecendrungan memunculkan benturan antara negara dengan masyarakat sipil. Ketimpangan ekonomi ini telah kita kenal dengan berbagai argumen Marxian; di mana alat-alat produksi didominasi kelompok borjuasi yang bersumber dari kekuasaan. Legitimasi kekuasaan atas penguasaan produksi menyebabkan kendali ekonomi di satu tangan atau pada kelompok tertentu. Dan pada akhirnya ini pula yang meletupkan benturan kaum proletar (buruh) dengan kaum borjuasi (majikan atau pemilik modal); itu karena ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat.
Bagi Chandoke; benturan negara dengan masyarakat sipil, bukan hanya semata ketimpangan ekonomi sosial. Tetapi karena juga faktor dominasi politik dan kekuasaan yang dimiliki pemerintah dan anggota parlemen. Chandoke lebih lanjut menganalisis, bahwa ketimpangan itu merupakan “Ajang pertarungan negara dengan masyarakat sipil” (Neera Chandoke, hal, 313). Pada fase-fase itu konflik negara dengan masyarakat sipil menuai kerumitan yang tajam. Arogansi negara dalam hal ini penyelenggara negara, terhadap masyarakat sipil, terabaikan karena; tuntutan masyarakat sipil atas dominasi politik dan kekuasaan, minimal dihentikan atau dikurangi—terutama dalam praktek kekuasaan, penegakan hukum, penguasaan atas sumber-sumber negara yang monopolistik. Disparitas ini yang menjadi sentar pemicu konflik-konflik sosial itu terjadi.
Disisi lain dua teoritikus; Nicos Poulanzas dan Claus Offe, menunjukkan bahwa perjuangan sosial dalam masyarakat membatasi negara. Poulanzas; menitikberatkan pada pada aspek konflik sosial yang disebabkan oleh negara yang tidak dapat mengambil peran banyak, sehingga membiarkan gesekan; antara kelas ekonomi dengan kelas sosial atau yang lebih familiar adalah kelas borjuasi dengan proletar (pekerja)—sebagaimana pandangan Marxsian. Tetapi pandangan Claus Offe, melihat pada aspek yang lain bahwa kerengganan relasi antara kkekuasaan ekonomi dan politik menjadi sebab kekacauan-kekacauan di tengah masyarakat. Lebih lanjut Offe menyatakan; bahwa negara sebagai subsistem ekonomi yang cendrung memfasilitasi ekonomi kapitalisme sebagai agen penguasaan produksi. tetapi dipihak yang lain negara juga membutuhkan loyalitas dari massa (rakyat), demi memperbaiki dan sekaligus mempertahankan fungsi-fungsi primer bagi negara yakni; pemenuhan kebutuhan, keadilan, rasa aman, penegakan hukum, serta menciptakan stabilitas ekonomi politik yang seimbang.
Dalam perspektif tersebut di atas, dapat dipahami; bahwa konflik negara dengan masyarakat sipil—sangat disebabkan oleh disparitas atas sosial ekonomi, serta dominasi kekuasaan dan politik yang begitu curam. Termasuk karena ketimpangan pendapatan antara pejabat negara dengan kelas masyarakat sipil.
Vox Populi Vox Dei
Dalam transisi demokrasi menurut David Easton (1981) “The Political System”, menyarankan meninggalkan konseptualisasi seputar perdebatan tentang negara, sebab menurutnya negara telah menciptakan kekacau-balauan dalam relasi antara negara dengan masyarakat sipil. Sementara John Hoffman (1988), mengatakan; bahwa negaralah yang harus menjadi sentra dari berbagai teori politik, demikian pula pada peran-peran politiknya. Peran politiknya yang dimaksud adalah; eksekutif (pemerintah), legislatif (anggota DPR/Parlemen), yudikatif (lembaga penegakan hukum)—yang semuanya memungkinkan terwujudnya relasi yang bukan hanya kepada antarlembaga tetapi juga relasi dengan masyarakat sipil (publik atau rakyat). Kesenjangan relasi ini cendrung dipandang sebagai dua pihak yang berbeda; pemerintah dengan yang diperintah (penguasa dengan yang dikuasai) atau penindas atau yang ditindas.
Praktek transisi demokrasi juga pada akhirnya tidak memberikan jaminan akan kualitas demokrasi di masyarakat. The political decay—sebagai sarana perang antar geng politik, kini menjadi fenomena dalam politik kontemporer. Situasi demikian, tidak menyebabkan kondusifitas demokrasi dan politik akan semakin baik, malah justru indeks demokrasi semakin menurun. Belum lagi the political trial (pengadilan politik) atas berbagai kasus hukum yang dipolitisir sedemikian rupa, sehingga salah benar bukan didasarkan pada fakta-fakta hukum, justru dominasi politik cendrung tersembunyi di balik itu.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia saat ini, di tengah usia 300 hari lebih pemerintahan Prabowo Subianto—begitu banyak hal-hal yang terungkap di permukaan; korupsi yang menggila, penegakan hukum yang tebang pilih, kriminalisasi hukum, hutang luar negeri yang menggunung, kenaikan pajak dan royalti, efesiensi hanya omong kosong. Bahkan kenaikan gaji anggota DPR yang di luar batas tanpa harus mempertimbangkan standar kehidupan rakyatnya. Ini adalah bentuk bencana atas hilangnya sense of crisis dan rasa empaty dalam pemerintahan saat ini.
Sebuah refleksi; dari joget-joget di istana, joget-joget di gedung parlemen, oknum anggota DPR yang nantangin rakyat, sampai dengan kata-kata yang tak sepantasnya keluar dari mulut seorang anggota DPR yang mengatakan; kalau yang mau membubarkan DPR itu manusia tertolol sedunia, bahkan ada yang membandingkan dirinya (anggota DPR) dengan istilah rakyat jelata. Kesemuanya ini adalah bara dalam sekam. Sehingga publik merespon dengan cara demonstran 28 Agustus 2025, yang berujung kematian seorang driver Ojol (Affan Kurniawan) yang dilindas mobil Baracuda Brimob. Fenomena ini kemudian menciptakan kemarahan rakyat yang sulit dikendalikan, dan itu terjadi di berbagai daerah di Indonesia sebagai bentuk aksi solidaritas.
Hedonisme anggota DPR di tengah sulitnya ekonomi rakyat—juga menjadi asbab pemicu terjadinya kemarahan. Representasi politik rakyat bagi anggota DPR belumlah dipahami secara substansial, sehingga kadang mereka setelah terpilih tidak lagi mewakili rakyat yang memilihnya. Sehingga ada pameo; sebelum jadi anggota DPR mengemis minta suara ke rakyat. Giliran terpilih, mengemis ke negara minta fasilitas semuanya dipenuhi, jadi simpulannya di gedung DPR itu dipenuhi pengemis. Ada proses kesadaran yang hilang bagi mereka yang telah dipilih oleh rakyat.
Karena itu, insiden, kerusuhan ini harus diakhiri dengan cara pemerintah harus merespon dengan tindakan atas tuntutan rakyat yang berkembang. Pemerintah tidak sebatas bernarasi ada pihak ini dan itu di balik tragedi ini, dalang ini dalang itu—penanganan ini bukan sebatas rethoris-semiotik yang bersifat the moral forces tetapi juga perlu the political forces. Insiden tersebut adalah bukti vox populi vox dei, bahwa kemarahan rakyat adalah merepresentasikan kedaulatan rakyat.
Sehingga pemerintahan Prabowo Subianto diminta merespon tuntutan rakyat, paling tidak membersihkan “brutus-brutus” dalam kabinet merah putih, mencopot para penegak hukum yang masih mempermainkan hukum dan keadilan. Ruh reformasi 98 harus dikembalikan sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance and Clean Governance), bersih dari praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), merasionalisasikan gaji dan tunjangan elit, pejabat negara, anggota DPR dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat yang semakin terpuruk. Kalau hal ini dilakukan oleh Prabowo Subianto—maka trust publik terhadap pemerintah semakin kuat dengan dukungan rakyat. Tetapi bila hal itu tidak dilakukan, justru akan melemahkan posisi Prabowo Subianto—dan kekhawatiran terjadi delegitimasi kekuasaan.
Sebab itu, rakyat menunggu tangan besi Prabowo Subianto untuk menciptakan kondusivitas bernegara dengan dukungan rakyat. Semoga bisa dilakukan demi kepentingan rakyat. *****
Note “Elit, pejabat, anggota DPR hanya dipilih 5 tahun sekali, dan bisa diganti kapan saja, tetapi posisi rakyat tidak pernah tergantikan”
Referensi :
Al Mughniy, Saifuddin, 2007, Pembangkangan Civil Society, Kalam Nusantara, Jakarta
Chandoke, Neera, 1995, The State and Civil Society (Benturan negara dengan masyarakat sipil), Penerbit, Institut Tafsir Wacaba, Yogyakarta.
Polanyi, Karl, 1944, The Great Transformation; The Political and Social Origins of Our Time. Boston, Amerika Serikat. Cetakan pertama edisi Indonesia, 2003, Transformasi Besar; Asal usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pruitt, DeanG, Jeffrey Z. Rubin, 1986, Social Conflict, (Teori Konflik Sosial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Singh, Rajendra, 2010, Social Movement, Old and New; A Post Modernist Critique, Resist Book, Sleman, Yogyakarta.
Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis buku, Kritikus sosial politik, Penggiat demokrasi