Opini – Ketua DPR dengan tenang menyatakan: tidak ada kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR. Tunjangan Rp50 juta per bulan dianggap sebagai kompensasi karena para legislator “tidak lagi tinggal di rumah dinas”. DPR telah mengubah rumah dinas menjadi bonus tunai yang masuk kantong. Mereka tersenyum di ruang sidang membayangkan saldo bank bertambah setiap bulan.
Rp50 juta per bulan untuk sekadar tempat tidur? Hebat sekali wakil rakyat kita—mungkin mereka pikir tunjangan itu bukan uang rakyat, melainkan hak turunan dari nenek moyang, yang diwariskan agar mereka bisa terus merasa lebih tinggi dari rakyat yang dipanggilnya “wakil”.
atau ….
Mungkin alasan rumah dinas ditolak karena terlalu “seram”: bukan hantunya, tapi bayangan rakyat miskin yang menempel di dindingnya, jadi lebih aman kalau pindah ke kantong pribadi Rp50 juta per bulan—setidaknya di sana hantunya bisa ia taklukkan.
Sementara rakyat? Mereka menatap angka itu dengan mata melotot—apakah aset negara yang kosong itu bakal diapakan? Apakah dilelang, dijual, disulap jadi mall mini, atau dijadikan dekorasi publik? Jawaban sederhana seperti itu sepertinya terlalu primitif bagi logika parlemen: yang penting uang tunai Rp50 juta masuk kantong.
Pilihan anggota DPR sangat jelas dan rasional menurut logika mereka: siapa yang mau repot tinggal di rumah dinas, lengkap dengan tetangga cerewet dan birokrasi kusut, jika bisa menerima Rp50 juta langsung ke rekening setiap bulan? Rumah dinas hanyalah formalitas, alamat administratif, atau monumen sejarah yang bisa diabaikan. Sementara uang tunai? Itu adalah kenyataan yang bisa langsung dipegang, dihitung, dan dipamerkan di WhatsApp atau Instagram.
Rakyat pun bisa belajar banyak dari fenomena ini. Misalnya: Bagaimana menukar fasilitas publik menjadi keuntungan pribadi dengan mudah. Bagaimana “mengubah” rumah negara menjadi bonus tunai yang masuk kantong. Bagaimana tetap tersenyum di ruang sidang sementara saldo bank bertambah.
Ironi terbesar? DPR seharusnya mewakili rakyat, menjaga aset negara, dan memastikan fasilitas publik dimanfaatkan secara adil. Faktanya, anggota DPR menikmati aset negara layaknya pesta pribadi: rumah kosong? Tidak masalah. Tunai Rp50 juta? Silakan nikmati. Sementara rakyat? Mereka hanya bisa menatap dari jauh, seperti melihat kastil mewah di negeri dongeng yang tak pernah bisa mereka masuki.
Fenomena ini mengukuhkan satu kesimpulan pahit: demokrasi di Indonesia kadang lebih mirip pasar saham daripada forum publik. Rakyat adalah penonton yang membayar tiket melalui pajak; wakil rakyat adalah investor utama yang menukar aset negara menjadi saldo pribadi. Aspirasi rakyat hanyalah dekorasi panggung, sedangkan tunjangan legislator adalah bintang utama.
Jika kita bandingkan, rumah dinas yang kosong bisa menjadi simbol kesederhanaan, tapi kantong DPR penuh adalah simbol ketimpangan. Rakyat belajar sabar, menahan harga sembako dan listrik yang naik. Wakil rakyat belajar kaya, menandatangani daftar hadir sambil menikmati fasilitas yang dibayar oleh rakyat. Demokrasi? Kadang terasa seperti sirkus, di mana rakyat membayar tiket, menonton pertunjukan mewah, sementara aktor utama menikmati pesta di balik layar.
Dan di sinilah ironi mencapai puncaknya: 50 juta bukan sekadar angka, tetapi mantra sakti bagi wakil rakyat. Dengan tunjangan itu, mereka bisa membeli beras untuk satu RT, listrik untuk gedung perkantoran, dan masih menyisakan untuk liburan ke luar negeri. Sementara rakyat? Mereka tetap menghitung setiap rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah negara kosong, kantong DPR penuh, dan demokrasi menjadi panggung komedi tragis.
Penulis : Hernan Kajang