KETIKA “TUHAN” DIBUNUH

Berangkat dari filosofi ini kalau dibenturkan dengan kondisi politik Indonesia akhir-akhir ini mungkin ada benarnya. Sejarah lahirnya hukum adalah sejarah tentang kemanusiaan dan sejarah tentang keadilan (justice). Kenapa harus ada hukum? Jawabannya, agar manusia tidak semena-mena dengan manusia lainnya, agar ketertiban dan keamanan tercipta di tengah kehidupan manusia. Fungsi hukum adalah memberikan rasa aman pada manusia di dalam rangka menemukan nilai-nilai keadilan.
Di zaman Orde Baru Soeharto menjadikan politik sebagai panglima, akibatnya tidak sedikit yang tidak sepaham dengan pak Harto disingkirkan. Tidak sedikit aktifis diculik, dan terbukti partai politik yang dipelihara saat itu hanya tiga partai yakni Golkar, PPP dan PDI, itu membuktikan bahwa rezim orde baru menggunakan kekuasaan untuk membatasi sekaligus menghabisi lawan-lawan politiknya. Hal ini dapat dilihat betapa manajemen pemerintahan saat itu dikenal dengan konsep ABS (Asal Bapak Senang). Semua perangkat pemerintahan dikendalikan oleh Soeharto yang sangat despotik, sehingga demokrasi berjalan seadanya dengan titah demokrasi Pancasila.
Bahkan hal ini juga terjadi di masa Orde Lama bagaimana hukum itu dimiliki oleh penguasa, dan tidak sedikit para penentang kekuasaan ditangkap dan di penjara tanpa proses pengadilan dan bukti-bukti kesalahan. Seperti Buya Hamka di penjara kurang lebih 2,8 tahun, hukum seringkali hanya dipahami sebagai ilusi sebuah proses pengadilan yang berujung pada mengadili. Pengadilan sesungguhnya harus mampu menemukan kebenaran, tetapi mengadili adalah satu bentuk tekanan politik untuk mengakui yang salah menjadi benar dan benar menjadi salah. Semua harus masuk pada perangkap kekuasaan. Ilusi kebenaran dan keadilan telah meruntuhkan khittah hukum sebagai instrumen pengaman bagi setiap warga negara.
Makanya tidak heran kalau kemudian hukum tajam ke bawah namun tumpul keatas (Prof. Baharuddin Lopa), bahkan galak ke rakyat, letoy ke kolega, makna kalimat tersebut bahwa tajam ke bawah karena proses hukumyang ada memperlihatkan kondisi di mana orang miskin yang hanya mencuri sebuah pisang karena hanya untuk mempertahankan hidupnya, justru diproses hukum tanpa kompromi, tanpa harus melakukan upaya rekonstruksi hukum minimal mengajukan pertanyaan; kenapa anda mencuri?—tentu ada alasan yang memungkinkan si-tersangka melakukan hal demikian (sekalipun secara moral itu tetap salah), tetapi hukum tidak mutlak hanya memotret perilaku “mencuri” dengan hitam putih (salah benar), tetapi hukum memiliki dimensi yang substantif yakni Conscience (kecerdasan hati nurani). Bila hukum tidak lagi memakai pendekatan nurani di dalam memutuskan perkara—maka semua orang di mata hukum adalah “penjahat”.
Namun di beberapa kasus yang lain, juga terlihat proses hukum begitu banyak tumpul ke atas, proses penegakan hukum yang menjerat kelompok elit akhir-akunculkan banyakhir ini menjadi perhatian serius bagi marwah penegakan hukum di notabene negara hukum ini. Penegakan hukum ke atas memunculkan banyak pertanyaan dan spekulasi, nyaris mereka sepertinya tidak tersentuh hukum, bahkan disinyalir kebal hukum. Bahkan mendapat perlawanan secara politis, sehingga terjadi kompromi dengan jalan damai, tetapi harus dengan harga yang mahal. Menurut saya ini yang disebut menggadai kebenaran di jalan gelap, sehingga keadilan pun tercederai.
Tebang Pilih—membunuh hukum
Proses penegakaan hukum tentunya kita apresiasi dengan baik, sebab kalau hal ini tidak ditegakkan maka akan menimbulkan penyakit Kleptokrasi atau mobokrasi di kalangan birokrat sehingga semua tindakan bisa saja menjadi benar, sekalipun itu pelanggaran secara etik maupun estetik. Lucunya, seorang nenek yang hanya mencuri singkong untuk memperjuangkan hidupnya dengan seorang cucu tanpa rasa kemanusiaan divonis oleh majelis hakim. Dan tentu sangat jauh berbeda ketika perampok uang negara dengan trilyunan rupiah justru mengalami hambatan demi hambatan karena adanya politik transaksional dari berbagai kalangan elit politik.
Kesalahan besar dalam membaca teks dari pikiran David Osborne tentang Reinventing Government (mewirausahakan birokrasi). Buku ini sesungguhnya dibaca terbalik, dengan asumsi kalau seseorang birokrat maka ia pun juga harus menjadi pengusaha, sehingga proses kebijakan itu tentu sangat menguntungkan siapa pemegang kekuasaan. Terus, di mana kepentingan rakyat (publik)? Nyaris tak diperjuangkan. Dan ini semakin membuat jurang pemisah antara penguasa, pengusaha dengan rakyat di sekelilingnya. Sebab di beberapa tempat ada penegak hukum bahkan birokrat mengendalikan usaha untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga tidak ada pilihan bagi rakyat kecuali berada dalam posisi ter-marginalkan. Artinya ada upaya hukum dijadikan sebagai legacy sekaligus legitimasi bagi mereka dan kelompoknya. Itulah, kenapa hukum menjadi “kaku” pada kelompok tertentu, tetapi kenapa hukum harus ditegakkan pada kelompok yang lain. Prinsip hukum “semua orang sama di mata hukum” adalah konsep deskripsi di dalam penegakan hukum, “tetapi tidak semua orang sama dalam perlakuan hukum”. Ini realitas yang sulit dibantah.
Sehingga proses hukum hanya bisa menjadi slogan bagi penegak hukum sementara tidak sedikit di antara mereka menjadi mafia kasus, serta menguasai jargon-jargon ekonomi masyarakat. Bahkan Ada fakta persidangan yang seharusnya tidak dilanjutkan pada tingkat kejaksaan, justru dipaksakan karena terjadinya kongkalikong antara penegak hukum. Polisi sebagai penyidik tentu menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum, jaksa adalah yang melanjutkan pada proses persidangan, tetapi tidak sedikit kenyataan perkara itu tetap diteruskan dengan dalih tekanan secara mental bagi penegak hukum, dan tekanan secara psikologis bagi si korban atau pelaku, ini sesuatu yang aneh, yang seharusnya harus di konfirmasi lebih lanjut. Namun dengan berbagai alasan, praduga tak bersalah-lah dengan berbagai dalih tanpa dalil, walau kemudian akhirnya diduga bersalah, dan bersalah.
Ironisnya terekam beberapa kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara justru sengaja terbiarkan, korupsi sapi impor, Hambalang yang telah menyeret Andi Alfian Mallarangeng dengan Nasaruddin (mantan Bendahara Umum Partai Demokrat), Angelina Sondakh (politisi Demokrat), dan beberapa orang yang diduga terkait sampai saat ini tak tersentuh. Tentu alasannya cukup sederhana karena mereka itu punya power politic yang kuat saat itu. Nah, kalau begini kejadiannya ternyata hukum masih tebang pilih. Delik-delik hukum itu begitu ramai di permukaan media, kasus Mirna yang melibatkan Jessica, pelecehan seksual Saiful Jamil, dan korban kekerasan terhadap pembantu rumah tangga misalnya yang dilakukan Ivan Hamzah (anak mantan Wakil Presiden Hamzah Haz yang juga anggota DPR RI). Yang kesemuanya itu menjadi pemandangan buruk dalam dimensi penegakan hukum di Indonesia.
Kenapa demikian, karena hukum telah tergadai di ruang gelap, di mana para pengadil yang memainkan peran sebagai wakil “Tuhan” dengan sebutan yang “mulia’ menjual kebenaran dengan harga yang mahal. Bagi si kaya tidak ada masalah, sebab dengan membeli dengan harga mahal itu; diambil dari uang setan dimakan iblis, begitu tragisnya kehdupan hukum di negeri ini. Hukum adalah jalan lain untuk mengungkap kebenaran, sementara Tuhan adalah sumber kebenaran, jadi kalau kebenaran terjual maka di mana posisi TUHAN? Katakanlah para penjual kebenaran pun juga pada akhirnya masuk penjara, Hakim Mahkamah Konstitusi M. Akil dengan kasus suap gugatan pilkada, belum lagi pengacara senior O. C. Kaligis dengan kasus suap PTUN di Sumatera Utara, ini membuktikan bahwa begitu murahnya kebenaran dan begitu mahalnya kesesatan. Perilaku ini kemudian menjadikan hukum keropos secara naluri walau secara teks begitu ideal. Artinya “Tuhan” dibunuh oleh mereka yang menyandang predikat “mulia”—jadi benar kata Nietzsche (“God is Death”) Tuhan telah mati. Tuhan yang dideskripsikan tentang nilai-nilai baik dan bijak, tentang moral, tentang hati nurani, keadilan, persamaan, serta nilai-nilai humanity. Dan apa yang dideskripsikan oleh Nietzsche merupakan inti dan sumber dari hukum itu sendiri.
KPK, sebagai lembaga pemberantasan korupsi sangat diharapkan untuk bagaimana memainkan peran dan fungsinya untuk memberantas korupsi di negeri ini sebab ada adagium dari Lord Action mengatakan seperti ini “pastend to corrupt, corrupt and absolutely power corrupt” yang berarti “ birokrasi itu cenderung korup, dan kalau ia korup, pasti korup sejadi-jadinya” Berdasarkan adagium ini, tentu KPK butuh energi dan spirit yang begitu besar untuk kemudian memberantas korupsi. Bagaimana hebatnya Abraham Samad sebagai ketua KPK pada akhirnya harus berhadapan dengan buaya besar, untuk kemudian mencoba menghadang laju gerakan Abraham Samad yang tetap komitmen untuk menegakkan hukum di negeri ini.
Namun lagi-lagi, konspirasi politik kemudian dimainkan untuk menghentikan semua itu. Kejadian ini sesungguhnya adalah karena mentalitas sebagian elitis yang belum siap menegakkan hukum secara baik dan benar. Pasca Abraham Samad pun hingga saat ini KPK terus mendapat berbagai ujian di tengah maraknya praktek korupsi belum lagi yang OTT. Tarik menarik kepentingan politik pun kian terjadi di dalam rangka memagari kader-kader partai politik yang terindikasi korup. Ini bentuk fenomena despotisme politik yang menyandera hukum demi sebuah ambisi kekuasaan.
Drama melumpuhkan KPK sebagai lembaga antirasuh ini terus menggelayut di dalam ruang politik-parlemen. Pertanyaan kemudian kenapa harus melemahkan KPK? Terindikasi kuat kalau partai politik mencoba memagari kader-kadernya yang terjerat kasus hukum. Sehingga bargaining politik pun sulit dihindari—yang pada akhirnya bukan mengurangi jumlah korupsi, malah semakin meningkatkan jumlah yang korupsi, dan jumlah yang dikorupsi. Kasus korupsi tata niaga Timah 300 Trilyun, Pertamina yang mencapai 1000 Trilyun—yang dianggap sebagai mega korupsi terbesar sepanjang sejarah bangsa ini.
Menyoal sistem peradilan dalam penegakan hukum yang masih sangat timpang—dan cendrung politis, dipotret dalam beberapa kasus; kasus gratifikasi Jet pribadi Kaesang, kasus CPO Airlangga Hartatrto, minyak goreng Zulkifli Hasan, Blok Medan yang melibatkan Boby Nasution (disebutkan dalam fakta persidangan mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba), kasus mantan Menteri Pertanian (SYL) yang menyebut nama presiden Joko Widodo (dalam fakta persidangan), begitu pula kasus Tom lembong (menyebut nama presiden Joko Widodo dalam fakta persidangan), belum lagi penyelundupan nikel sebesar 5 juta ton yang juga menyebut beberapa tokoh politik—yang hingga saat ini semua mengendap di ruang penegakan hukum.
Fenomena ini kemudian menyebabkan turunnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sekali lagi, kasus Tom lembong dan Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) yang dinilai publik menyisakan banyak kejanggalan. Benarkah itu murni penegakan hukum? atau memang kriminalisasi hukum dengan memakai hukum sebagai alat gebuk untuk lawan-lawan politik yang berseberangan dengan kekuasaan. Penegakan hukum menjadi bias, sehingga memunculkan ketakutan publik dengan alasan kalau sekelas Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto saja bisa dikriminalisasi, bagaimana dengan publik (rakyat) yang bukan siapa-siapa. Pada akhirnya hukum menjadi paradoks.
Lalu siapa yang kejam, Hitler yang membantai jutaan orang yahudi, atau penegak hukum (hakim) yang telah membunuh Tuhan?…
Tuhan adalah simbol kebenaran,
Hukum ditegakkan atas nama kebenaran
Untuk meraih keadilan, maka Tuhan jangan tergadai
Diruang gelap demi hasrat membunuh kebenaran (saifuddin al mughniy)

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Kritkus sosial dan politik, Penggiat Demokrasi, Pendiri Indonesian Corner
Ius summa ius humaniora
Keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri,
Bukan mengadili tetapi bagaimana menemukan keadilan.