PENGAKUAN NEGARA BARAT TERHADAP PALESTINA

Opini : Pergeseran politik domestik di beberapa negara Barat turut memengaruhi arah kebijakan luar negeri. Di Eropa, khususnya, ada peningkatan kesadaran di kalangan politisi dan partai politik mengenai urgensi penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Beberapa negara Eropa, yang secara historis memiliki kebijakan luar negeri yang lebih independen dari Amerika Serikat, kini melihat pengakuan Palestina sebagai instrumen untuk memperkuat posisi Uni Eropa di panggung global dan untuk menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan hak asasi manusia. Kanada, misalnya, meskipun secara tradisional memiliki hubungan dekat dengan Israel, juga menunjukkan fleksibilitas dalam pendekatan diplomatiknya, yang dapat dipengaruhi oleh dinamika politik internal dan pertimbangan multilateral.

Kegagalan proses perdamaian Israel-Palestina yang berkelanjutan juga menjadi katalisator penting. Putaran negosiasi yang berulang kali kandas, pembangunan permukiman Israel yang terus berlanjut di wilayah pendudukan, dan ketidakmampuan komunitas internasional untuk secara efektif menekan kedua belah pihak untuk mematuhi resolusi PBB telah menimbulkan frustrasi yang meluas. Akibatnya, banyak negara Barat mulai melihat pengakuan kedaulatan Palestina sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga agar solusi dua negara tetap hidup dan untuk memberikan Palestina status diplomatik yang setara dalam upaya mencari penyelesaian yang adil. Pengakuan ini dipandang sebagai cara untuk memberikan Palestina posisi tawar yang lebih kuat dan untuk mendorong Israel agar lebih serius dalam negosiasi. Pergeseran sikap ini mencerminkan pengakuan yang semakin luas bahwa status quo tidak dapat dipertahankan dan bahwa langkah-langkah konkret diperlukan untuk memajukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina.

Skenario jika Palestina merdeka dan berhasil mencapai kemerdekaan yang diakui secara luas, maka pertanyaan fundamental muncul mengenai bentuk negara yang akan terbentuk; apakah solusi dua negara (negara Palestina yang merdeka berdampingan dengan negara Israel) atau satu negara (baik itu negara Palestina yang mencakup seluruh wilayah historis, atau sebuah negara dwibangsa yang mencakup kedua populasi dalam satu entitas politik). Solusi dua negara telah lama menjadi kerangka kerja yang didukung oleh sebagian besar komunitas internasional, termasuk PBB dan banyak negara Barat. Dalam skenario ini, negara Palestina akan berdaulat di Tepi Barat dan Gaza, dengan Yerusalem sebagai ibu kota bersama atau terbagi, dan Israel akan eksis sebagai negara Yahudi yang aman.

Pengakuan kedaulatan Palestina oleh negara-negara Barat, terutama jika disertai dengan dukungan untuk batas-batas yang dinegosiasikan berdasarkan garis 1967, akan menjadi langkah krusial menuju realisasi solusi ini.Namun, hambatan utama terhadap solusi dua negara meliputi perluasan permukiman Israel di Tepi Barat, status Yerusalem, keamanan Israel, hak kembali pengungsi Palestina, dan perbatasan yang aman dan diakui.

Di sisi lain, muncul pula diskusi mengenai solusi satu negara. Skenario ini dapat terwujud dalam dua bentuk utama: Pertama, negara Palestina yang mencakup seluruh wilayah historis Palestina, yang berarti pembubaran negara Israel. Skenario ini sangat ditentang oleh Israel dan banyak sekutunya, karena dianggap mengancam keberadaan negara Yahudi. Kedua, negara dwibangsa di mana seluruh wilayah Palestina-Israel menjadi satu negara kesatuan dengan hak yang sama bagi semua warga negara, baik Yahudi maupun Palestina. Skenario ini juga menghadapi tantangan besar, termasuk masalah identitas nasional, segregasi historis, dan potensi ketidakstabilan politik serta sosial jika tidak dikelola dengan baik (Academic debates on the one-state solution, 2022).

Pandangan mengenai prospek masing-masing skenario sangat bervariasi. Sebagian besar analis berpendapat bahwa solusi dua negara, meskipun semakin sulit dicapai, tetap menjadi opsi yang paling realistis dan didukung secara internasional untuk menghindari konflik yang lebih luas dan krisis kemanusiaan yang lebih parah. Namun, kegagalan terus-menerus dalam mencapai solusi dua negara juga membuat solusi satu negara menjadi opsi yang semakin banyak dibicarakan, meskipun secara praktis sangat sulit diimplementasikan.

Pengakuan kedaulatan Palestina oleh negara-negara Barat, jika terjadi secara luas, dapat memberikan dorongan moral dan diplomatik yang signifikan bagi Palestina, serta meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel untuk kembali ke meja perundingan dengan niat baik. Namun, pengakuan itu sendiri tidak akan menyelesaikan konflik, ia hanya akan mengubah lanskap politik dan diplomasi di mana negosiasi harus terus dilanjutkan. Tantangan terbesar tetap ada pada kemauan politik kedua belah pihak dan kemampuan komunitas internasional untuk memfasilitasi kesepakatan yang adil dan berkelanjutan.

Pentingnya pembebasan dan kemerdekaan penuh Palestina, pengakuan kedaulatan oleh negara-negara Barat adalah langkah progresif yang sangat krusial. Langkah ini tidak hanya memberikan legitimasi diplomatik yang lebih besar kepada Palestina, tetapi juga dapat menjadi katalisator untuk negosiasi yang lebih bermakna dan adil. Dukungan internasional yang lebih luas, diantaranya Indonesia seperti partisipasi aktif masyarakat sipil dalam aksi-aksi damai untuk Palestina, yang dijadwalkan minggu tanggal 3 Agustus 2025 di Monas Jakarta, menunjukkan bagaimana dukungan publik dan aspirasi massa dapat memengaruhi agenda kebijakan luar negeri sebuah negara. Posisi Indonesia yang secara konsisten menyerukan aksi “Bela Palestina” dan mendukung perjuangan Palestina di forum global mencerminkan bagaimana kebijakan luar negeri sebuah negara tidak hanya dibentuk oleh kalkulasi realis semata, tetapi juga oleh prinsip-prinsip kemanusiaan, solidaritas, dan aspirasi konstitusional untuk berkontribusi pada perdamaian dunia.

Kemerdekaan Palestina bukanlah sekadar aspirasi, melainkan hak yang harus dihormati dan diwujudkan demi terciptanya perdamaian yang langgeng di Timur Tengah dan di seluruh dunia. Kepentingan nasional dan kalkulasi strategis yang digariskan oleh realisme politik mendominasi hubungan internasional, norma-norma yang berkembang dan tekanan dari aktor-aktor non-negara dalam siklus kebijakan publik mendorong pergeseran pada keadilan dan pengakuan HAM.

Penulis : Chairunnisa (Akademisi)