LBH Sinjai Pertanyakan Kenaikan PBB-P2, DPRD dan Pemda Dinilai Abaikan Suara Masyarakat

Sinjai , PB – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sinjai melalui Direkturnya, Ahmad Marzuki, SH, melayangkan kritik keras terhadap DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). LBH Sinjai menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mengabaikan suara masyarakat dan telah menimbulkan keresahan luas di tingkat warga.

Berikut adalah poin-poin aspirasi masyarakat desa dan perkotaan yang disampaikan LBH Sinjai terkait kenaikan PBB-P2:

1. Dasar Hukum Kenaikan PBB Tidak Sesuai Ketentuan: LBH Sinjai berpendapat bahwa kenaikan PBB seharusnya diatur melalui Peraturan Bupati (Perbup), bukan melalui Keputusan Bupati apalagi Surat Edaran. Surat Edaran dinilai hanya bersifat taktis dan sementara (baladsregel), sedangkan Keputusan Bupati bersifat individual (baschikking), bukan merupakan regulasi (Regeling).
2. NJOP Bangunan Naik Tanpa Indikator Jelas: Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bangunan melalui Keputusan Bupati Nomor 375 Tahun 2025 dinilai tidak memiliki indikator yang jelas. Contohnya, pajak bangunan warga yang sebelumnya Rp 150.000 melonjak menjadi Rp 1.028.000, atau naik sebesar 675%.
3. Tarif Minimum Pajak Melalui Surat Edaran Bupati Tidak Sah: Pemberlakuan tarif minimum pajak melalui Surat Edaran Bupati dianggap tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum. LBH Sinjai menekankan bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur soal tarif minimum, apalagi tarif tersebut dikenakan pada tanah yang seharusnya gratis menurut Perda Nomor 3 Tahun 2023 Pasal 9, yang menyatakan bahwa tanah di bawah Rp 10 juta tidak dikenakan pajak.
4. Surat Edaran Mendagri: LBH Sinjai menyoroti adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang memberikan petunjuk kepada Pemerintah Daerah untuk mengevaluasi kenaikan NJOP yang mengakibatkan naiknya PBB, serta untuk berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah.

LBH Sinjai mendesak Pemda untuk:

– Tidak membohongi masyarakat dengan “bermain kata” antara “kenaikan tarif pajak” dan “penyesuaian”.
– Segera membatalkan kenaikan NJOP bangunan dan tarif minimum pajak bumi/tanah yang didasarkan pada Surat Edaran Bupati yang tidak memiliki kekuatan hukum.
– Berkonsultasi kembali dengan Pemerintah Provinsi mengenai tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar.
– Segera mengembalikan pembayaran PBB masyarakat yang terlanjur dipungut karena tidak berdasarkan hukum yang sah.

Kasus kenaikan PBB-P2 ini menjadi ujian bagi DPRD dan Pemkab Sinjai untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.